Rekomendasi

Partai-partai sekuler Indonesia terlalu kuat bagi pesaing yang pro-Syariah

Meskipun jajak pendapat baru-baru ini yang diajukan oleh kelompok fundamentalis mengatakan 72% orang Indonesia berpendapat Syariah harus menjadi hukum negara, menilik pemilu yang lalu dan kecenderungan pemilih saat ini, Syariah tidak akan dilembagakan di negeri ini.
  • Para pendukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berkampanye terbuka di Stadion Bung Karno di Jakarta, Indonesia, pada tanggal 16 Maret. [Adek Berry/AFP] Para pendukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berkampanye terbuka di Stadion Bung Karno di Jakarta, Indonesia, pada tanggal 16 Maret. [Adek Berry/AFP]
Sebuah organisasi yang menamakan diri SEM Institute, yang terhubung dengan kelompok Islam di Indonesia, mengatakan mereka memperoleh hasil tersebut setelah mengambil jajak pendapat dari 1.498 orang di 38 kota antara akhir Desember 2013 dan akhir Januari tahun ini. Islam di Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memposting hasil survei itu pada situs-situs web mereka.
Namun lima partai Islam yang bersaing dalam pemilu parlemen pekan depan diperkirakan akan memenangkan 15% suara gabungan -turun dari 26% pada tahun 2009 dan 38% pada tahun 2004 - menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI).
“Dalam hal memilih partai, para pemilih Muslim tidak lagi memikirkan agama mereka, melainkan rekam jejak dan kebijakan partai,” menurut Direktur LSI Dodi Ambardi kepada AFP.
Pelunakan platform mereka
Indonesia memang negara berpenduduk Muslim terbesar, tetapi partai-partai sekuler telah mendominasi politik nasional sejak kemerdekaan. Sebaliknya, partai-partai yang sudah lama menyerukan untuk mengubah Indonesia menjadi negara Islam telah kesulitan untuk memenangkan mayoritas pemilih.
Partai-partai Islam menunjukkan kekuatan mereka dalam pemilu 1955, tetapi ditekan di bawah Orde Baru Soeharto (1967-1998). Mereka muncul kembali setelah Soeharto mengundurkan diri.
Meskipun partai-partai itu bernasib baik dalam Pemilu 2004, satu-satunya partai seperti itu yang meraih tampuk kekuasaan adalah pada tahun 1999 ketika Abdurrahman Wahid yang moderat dan populer dikenal sebagai Gus Dur– menjadi presiden pertama yang terpilih secara demokratis di Indonesia.
Dia memimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang memimpin aliansi strategis partai berbasis Islam yang dijuluki Poros Tengah.
Sekarang, jika kelima partai Islam di negara itu berharap untuk menang dalam pemilu mendatang, mereka perlu menghidupkan kembali Poros Tengah dan mengajukan seorang kandidat yang dapat memimpin mereka meraih kekuasaan, menurut para komentator.
“Poros Tengah dari partai-partai Islam ini bisa dilakukan bila mereka memiliki satu tokoh utama yang mampu menyatukan mereka semua,” kata Bahtiar Effendy, seorang profesor di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta, kepada Khabar.
”Sayangnya, kita belum melihat ini terjadi sampai sekarang.”
Pada saat yang sama, partai-partai Islam melunakkan platform mereka dan mengesampingkan masalah pelembagaan hukum Syariah. PKB, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB) tampaknya lebih berfokus untuk memajukan pluralisme dan demokrasi sebagai taktik untuk menarik suara.
Marbawi A. Katon, seorang analis dari Saiful Mujani Research and Consulting, juga memperkirakan bahwa partai-partai berbasis Islam tidak akan berhasil baik dalam pemilu legislatif tanggal 9 April dan pemilu presiden tanggal 9 Juli.
“Menurut saya, para pemilih sekarang ini lebih rasional dan selektif. Mereka akan memilih seorang kandidat berdasarkan program-program yang ditawarkan oleh partai-partai politik, dan tidak hanya mengandalkan ideologi,” katanya kepada Khabar Southeast Asia.
Diambil dari WASPADA

Related Posts :

0 Response to "Partai-partai sekuler Indonesia terlalu kuat bagi pesaing yang pro-Syariah"

Posting Komentar